Toxic Positivity: Saat "Semangat!" Justru Jadi Racun
Sigma GenZ - Pernah nggak sih, kamu lagi curhat panjang kali lebar, air mata udah nyaris keluar kayak soundtrack drama Korea, terus respons temanmu cuma, “Yuk, semangat! Semua pasti ada hikmahnya kok.”
Ehem. Kedengarannya manis ya? Tapi rasanya... nggak membantu sama sekali. Itu kayak kamu tenggelam di kolam renang, terus ada yang kasih motivasi dari pinggir, “Ayo, berenang aja, jangan menyerah!” Nah, itulah toxic positivity.
toxic positivity |
Apa sih, Toxic Positivity Itu?
Toxic positivity itu sebenarnya niatnya baik—menyemangati. Tapi, kadang kebaikan juga ada batasnya, kan? Intinya, toxic positivity adalah sikap selalu berusaha positif tanpa peduli konteks. Misalnya, kamu baru aja kehilangan sesuatu yang penting—entah pacar, kerjaan, atau saldo rekening. Alih-alih dengerin keluhan kamu, orang langsung nyuruh kamu “berpikir positif.”
Tunggu. Positif? Buat apa? Supaya dunia tampak seperti Instagram penuh filter? Padahal, perasaan negatif itu ada gunanya juga, lho. Kayak lampu indikator di dashboard mobil, mereka ngasih tahu kalau ada yang butuh diperbaiki, bukan ditutup stiker lucu.
Kenapa Toxic Positivity Bisa Berbahaya?
Oke, sebelum kita nge-judge orang yang bilang “Semangat!” tadi, mari kita pahami dulu. Biasanya mereka cuma bingung harus ngomong apa. Mereka nggak bermaksud jahat kok, hanya saja—tanpa sadar—mereka menghapus validitas perasaan kamu.
Bayangkan kamu sedang sedih, lalu ada yang bilang, “Jangan sedih, ya. Banyak orang lain yang hidupnya lebih susah.” Ya ampun, gimana nggak tambah stres? Itu sama aja kayak kamu lapar terus dikasih tahu, “Jangan lapar, dong. Banyak orang di dunia ini yang kelaparan.” Loh, lapar saya tetep lapar, Bu.
Toxic positivity juga bikin kita merasa bersalah atas perasaan kita sendiri. Padahal, manusia itu makhluk kompleks, bro. Kadang senang, kadang sedih, kadang ingin nangis sambil makan mie instan. Itu normal. Kalau kita terus dipaksa bahagia, lama-lama kita jadi mesin senyum yang mati rasa.
Kenali Tanda-Tandanya
Toxic positivity bisa datang dari mana aja—teman, keluarga, atau bahkan... diri sendiri. Pernah nggak kamu berkata begini ke diri sendiri:
“Nggak apa-apa, harusnya aku kuat.”
“Masa gara-gini aja aku sedih, sih?”
“Aku harus bersyukur, orang lain banyak yang lebih menderita.”
Halo, diri sendiri. Kadang, nggak apa-apa kok kalau mau nangis semaleman. Nggak ada aturan yang bilang kamu harus bahagia 24/7 kayak boneka Barbie.
Lalu, Harus Gimana?
Nah, ini dia solusinya. Kalau temanmu lagi curhat, please, nggak usah buru-buru jadi motivator. Kadang, yang mereka butuhkan cuma didengar, tanpa penilaian.
Coba ucapkan kalimat ajaib ini:
“Aku ngerti kok, pasti rasanya berat ya.”
“Gimana kalau aku nemenin kamu dulu aja?”
“Mau cerita lebih banyak nggak? Aku siap dengerin.”
Sederhana, tapi powerful. Dengan begitu, kamu ngasih ruang buat mereka merasa valid dan nggak sendirian.
Kalau toxic positivity datang dari dirimu sendiri, coba belajar berdamai dengan emosi negatif. Ingat, sedih bukan dosa. Marah bukan tanda kamu gagal jadi manusia. Itu cuma bagian dari hidup, sama pentingnya dengan rasa bahagia.
Jangan Jadi Korban Toxic Positvity
Jadi, toxic positivity itu kayak gula berlebihan: awalnya manis, tapi lama-lama bikin nggak sehat. Bukannya bikin kita bahagia, malah bikin kita jauh dari kenyataan. Jadi, yuk, belajar untuk nggak selalu buru-buru positif. Hidup nggak selalu tentang senyum, kadang tentang menerima bahwa “hari ini lagi nggak baik-baik aja, dan itu nggak apa-apa.”
Karena kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah... berhenti mencoba jadi sempurna.
Posting Komentar untuk " Toxic Positivity: Saat "Semangat!" Justru Jadi Racun"
Posting Komentar